Selasa, 25 Agustus 2009

LIBURAN STROBERI

Kriiing… Jam wakerku berbunyi. Huh, aku malas sekali untuk bangun dan memulai hariku dengan berangkat sekolah, apalagi di sekolah pasti banyak tugas yang numpuk setinggi Gunung Kelud. Beberapa menit kemudian aku memaksakan diri untuk bangun. I wanna be in the energy, not with the enemy a place for my head, aku menyanyikan lagu Linkin Park dan berteriak di kamar mandi.
Setelah selesai mandi aku langsung meluncur ke meja makan.
“Kamu mau berangkat sekolah Kazia?” Tanya mama dengan senyum mencurigakan sambil mengambilkan sepiring nasi untuk papa yang sedang baca koran.
“Iya Ma.” Aku menjawab dengan lesu. Pagi ini sepertinya kurang semangat gimana siangnya nanti… Pasti jadi buntutnya deh.
“Lho, bukannya ini hari Minggu?”
“Astaga-naga !!! Ya ampun, Kazia lupa Ma!” Spontan aku berteriak di meja makan dan Papa sempat melirikku di sela kacamata plusnya. Iya, hari ini hari Minggu!
“Papa dan Mama mau ngajak kamu pergi ke rumah nenek.”
“Ke rumah nenek Pa?! Asyiiik…!”
Pagi-pagi gini serasa kejatuhan durian runtuh, serasa kejatuhan bintang jatuh, serasa ada pelangi di atas kepalaku, serasa merasakan indahnya musim semi di Jepang. Pokoknya perasaanku senang sekali.
“Setelah selesai sarapan kamu harus bersiap-siap.”
“Beres Ma.” Lalu aku langsung mempercepat sarapanku.
Setelah aku pikir-pikir mimpi apa aku semalam?

Beberapa saat setelah packing kami segera menuju garasi dan berangkat ke rumah nenek yang ada di Bogor. Sepanjang jalan aku membayangkan kebun stroberi milik nenek yang ada di samping rumah. Pasti sekarang buahnya semakin lebat. Aku jadi tidak sabar untuk cepat sampai ke rumah nenek padahal perjalanan masih empat jam lagi kalau tidak macet.

Wajah nenek begitu berseri-seri ketika menyambut kedatangan kami. Aku juga merasa rindu sekali dengan nenek. Nenek sekarang tinggal sendiri bersama pembantunya karena kakekku meninggal ketika aku masih sangat kecil.
“Nek, sekarang Kazia ingin lihat kebun stroberi yang ada di kebun samping, boleh ya Nek?”
“Apa kamu tidak istirahat dulu?”
“Nanti saja Nek, aku juga tidak terlalu lelah.”
Begitu istirahat sebentar aku langsung berpamitan pada nenek untuk melihat dan memetik buah stroberi.
“Hati-hati Kazia!”
“Ya Nek.”
***

Pemandangan di kebun terlihat indah sekali sekali. Pohon stroberi yang menjalar berbuah dengan lebat, banyak yang merah tapi ada juga yang masih hijau belum matang, bunganya juga cantik, berwarna putih. Sesekali aku memetik dan memakannya. Hmm, manis sekali dengan sedikit efek asam yang memberi warna rasa di lidah.
Aku duduk, berniat memetik beberapa buah untuk kumakan di gubuk yang berada di pinggir kebun.
Dari kejauhan kulihat ada seseorang yang mencurigakan, sepertinya orang itu laki-laki dan seumuran denganku. Jangan-jangan dia mau mengambil stroberi milik nenekku tanpa ijin atau… berbuat jahat kali. Orang itu mondar-mandir di sekitar kebun. Kecurigaanku berkurang ketika melihat gerak-geriknya yang sepertinya hanya ingin menikmati keadaan alam saja.
“Ngapain kamu disini?” Aku bertanya kepadanya waktu dia melintas tepat di belakangku. Tapi dia malah menatapku dengan heran.
“Kamu juga ngapain di sini?” Dia malah balik nanya, harusnya dia tau kalau aku kesini memetik stroberi, pakai nanya lagi…
“Aku memetik stroberi.” Aku memperlihatkan ekspresi ketus.
“Jangan kawatir, aku hanya jalan-jalan di sini.” Lalu dia ikut duduk di sebelahku. “Rasanya manis. O, iya, kamu boleh panggil aku Tama.” Ucap orang itu sambil memetik satu buah stroberi lalu memakannya.
“Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya. Ngomong-ngomong nama kamu siapa?” Dia, maksudnya Tama menatapku dengan berharap aku menjawabnya.
“Kazia. Aku kesini ke rumah nenekku.” Jawabku.
“Santai saja, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin cari teman, kebetulan di sini ada kamu.”

Lama-kelamaan Tama makin asyik diajak bicara. Dia juga pintar bercanda. Kami ngobrol panjang lebar di gubuk.
“Kurasa ini sudah siang dan saatnya aku pulang.”
“Baiklah, aku berharap kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi.” Tama mengeluarkan senyum manis dan setelah aku pikir-pikir wajahnya juga gak terlalu garing-garing amat, haha. Tama mengulurkan tangannya, bersalaman dan aku segera pulang membawa segenggam stroberi.

Sore hari Papa mengajakku memancing di danau yang terletak di ujung jalan. Kami berangkat dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana ternyata tempatnya masih seindah dulu. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan acara memancing, tapi aku merindukan danau ini. Dulu sewaktu kecil kan aku sering main ke sini bersama nenek.
“Kazia?” Ada sesorang yang memanggilku lalu aku menoleh ke belakang.
“Ternyata kamu Tama?”
“Ngapain kamu di sini?” Tama bertanya dengan senyumnya yang wow!
“Ikut ayah memancing.” Tama menoleh pada Papaku, tak lama kemudian dia kembali melihatku.
“O, iya. Sebenarnya aku membawakan sesuatu untukmu.” Tama mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Sebuah boneka stroberi merah berukuran kecil.
Tapi tiba-tiba saja hujan deras mengguyur semuanya. Butiran-butiran airnya besar-besar. Deras sekali, begitu derasnya sampai-sampai aku bingung untuk berteduh. Aku mencari-cari Papa di sela-sela uraian air hujan.
“Papa! Papa!” Aku berteriak dan sepertinya tak seorangpun yang mendengarku, tetapi aku merasa tangan Tama menarikku.

***

Mataku terbuka. Aku melihat ke atas dan terdapat sebuah neon putih menggantung. Tempat apa ini? Lalu aku memeriksa kelilingku. Begitu kaget aku melihat tiang penggantung infus berada di sebelah kananku. Selang infus menempel di pergelanganku dan kulihat cairan itu menetes tiap detiknya, mengalir lewat pembuluh darah. Tempat ini familiar sekali, apa ini Rumah Sakit?
“Kazia?” Dari samping mama melihatku dengan panik.
“Papa panggilkan dokter.” Lalu papa keluar.
Aku jadi bingung. Sejak kapan aku sampai di sini? Padahal aku tadi berada di danau, mungkin ini Rumah Sakit yang ada di Bogor. Lalu kenapa aku sulit sekali untuk bicara?
Beberapa saat kemudian dokter datang bersama seorang suster lalu memeriksaku.
“Ma. Apa yang terjadi?”
“Syukurlah kamu bisa sadar Kazia… Tadinya kami semua kawatir sekali. Sudah lima hari kamu terbaring koma.” Mama membelai kepalaku.
“Koma Ma?!” Aku seperti tidak percaya. “Bukannya aku tadi mancing ke danau bersama Papa?”
“Danau?”
“Danau yang berada di tempat nenek itu lo Ma. Bukannya tadi kita berlibur kesitu?” Aku mengatakan apa yang ingin kualami tadi.
“Tidak Kazia, kita tidak ke danau. Kita tidak ke rumah nenek sebelum ini.”
Jawaban Mama semakin membuatku bingung saja.
“Kenapa aku bisa sampai ke Rumah Sakit Ma?” Aku mengorek keterangan.
“Karena lima hari yang lalu kamu mengalami kecelakaan waktu pulang sekolah dan kamu mengalami koma.” Apa yang Mama maksud dengan kecelakan? Mungkin saja waktu di danau aku tertimpa sesuatu lalu aku pingsan gitu. Waktu itu hujan turun dengan deras lalu aku tidak ingat apa-apa.
“Kecelakaan yang Mama maksud waktu aku berada di danau bersama Papa ya.”
“Waktu pulang sekolah, tidak ada sangkut pautnya dengan danau. Kamu tertabrak pengendara sepeda motor.” Mama memandangku kawatir. “Sekarang apa kamu merasakan ingatanmu ada yang hilang?”

Aku mengingat-ingat, tapi kejadian itu samar dan semakin aku memaksakan ingatanku maka semakin pusing kepalaku. Memang sepertinya benar apa yang dikatakan mama. Sewaktu pulang sekolah aku ditabrak oleh pengendara sepeda motor. Aku ingat itu.
Lalu bagaimana dengan liburanku ke rumah nenek tadi? Apa yg kualami tadi bukan seperti mimpi.
***

Sore ini aku boleh keluar dari ruang ICU. Papa mendorong kursi rodaku. Dari depan aku melihat seorang pasien yang dibaringkan menuju ruang operasi melewatiku. Tapi, itu biasa saja. Untungnya aku gak sampai dioperasi. Aku takut sekali.
“Sebentar Pa!” Aku menghentikan langkah papa dan otomatis kursiku juga berhenti. Kemudian aku menoleh pada wajah orang laki-laki yang akan dioperasi itu. Tama?
“Kenapa Kazia?” Tanya papa.
“Tidak ada apa-apa Pa. Wajah orang yang masuk ruang operasi tadi sepertinya familiar banget.” Jawabku, masih melihat ke belakang sampai pintu ruang operasi tertutup.
“Itu?” Papa ikut melihat kebelakang. “Itu pengendara sepeda motor yang menabrakmu beberapa hari yang lalu.” Jawaban papa membuatku terperanjat kaget.
“Namanya siapa Pa?”
“Papa kurang tau, tapi kalau gak salah namanya Pratama. Putra Pratama atau siapa Pratama-lah… pokoknya nama belakangnya adalah Pratama.”
Pratama? Tama? Tama-Pratama?
“Dia terluka parah ya Pa kok sampai dioperasi gitu.”
“Tidak juga, hanya lecet sedikit. Dia memiliki penyakit jantung, mungkin karena kecelakaan beberapa waktu yang lalu menyebabkan jantungnya semakin bermasalah. Menurut beritanya sekarang dia sedang melakukan pencangkokan jantung.”

Dia mirip sekali dengan Tama. Ah, Tama. Dia hanyalah teman mimpiku waktu liburan ke kebun stroberi nenek, mana mungkin dia sekarang ada dalam kehidupan nyata. Di dunia ini kan banyak sekali orang yang berwajah mirip.
***

Dua hari kemudian aku masih berada di Rumah Sakit. Pagi ini aku jalan-jalan ke taman Rumah Sakit, mencari udara segar. Aku berjalan di koridor Rumah Sakit. Iseng-iseng melihat ruangan sebelah kananku. Tiba-tiba mataku menangkap sosok Tama yang sedang berbaring di kamar nomor 14. Lama aku berdiri di depan pintu sambil menamatkan wajahnya, apakah dia benar-benar Tama.
Aku heran, tangannya memegang boneka stroberi kecil berwarna merah. Benarkah itu? Wajah orang itu, stroberi itu, lalu?

“Tama.” Aku memanggilnya.
“Kamu Kazia.” Anehnya dia langsung bisa mengenaliku dan aku mendekatinya dengan langkah ragu. “Aku lupa memberikan ini untukmu.” Lalu dia mengulurkan boneka duplikat stroberi itu, sementara aku masih termangu.
“Sewaktu kamu masih koma aku sering mengunjungimu. Aku merasa bersalah beberapa hari yang lalu aku telah menabrakmu waktu pulang sekolah.” Tama bercerita.
Aku masih heran juga.
“Aku juga sempat koma sih, gara-gara jantungku, tapi cuma dua hari. Untung sekarang sudah ada pendonor jantung. Aku bersyukur sekali. Kenapa kamu diam saja?”
Aku sedikit kaget. “O, maaf. Aku rasa sebelumnya kita pernah bertemu ya.”
Tama tersenyum, lagi-lagi senyum itu memang milik Tama yang aku jumpai pertama kali di kebun stroberi.

Bagaimana mungkin aku kenal Tama di dunia maya, sekarang dipertemukan dalam dunia nyata. Semua rahasia Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar